Maximilian Weber (21 April 1864 – 14 Juni 1920) adalah seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog dari Jerman yang dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi dan administrasi negara modern. Karya utamanya berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan pemerintahan, meski ia sering pula menulis di bidang ekonomi. Karyanya yang paling populer adalah esai yang berjudul Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, yang mengawali penelitiannya tentang sosiologi agama. Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur. Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat modern.
Sosiologi agama
Karya Weber dalam sosiologi agama bermula dari esai Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme dan berlanjut dengan analisis Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme, Agama India: Sosiologi Hindu dan Buddha, dan Yudaisme Kuno. Karyanya tentang agama-agama lain terhenti oleh kematiannya yang mendadak pada 1920, hingga ia tidak dapat melanjutkan penelitiannya tentang Yudaisme Kuno dengan penelitian-penelitian tentang Mazmur, Kitab Yakub, Yahudi Talmudi, Kekristenan dan Islam perdana.
Tiga tema utamanya adalah efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama, dan pembedaan karakteristik budaya Barat.
Tujuannya adalah untuk menemukan alasan-alasan mengapa budaya Barat dan Timur berkembang mengikuti jalur yang berbeda. Dalam analisis terhadap temuannya, Weber berpendapat bahwa pemikiran agama Puritan (dan lebih luas lagi, Kristen) memiliki dampak besar dalam perkembangan sistem ekonomi Eropa dan Amerika Serikat, tapi juga mencatat bahwa hal-hal tersebut bukan satu-satunya faktor dalam perkembangan tersebut. Faktor-faktor penting lain yang dicatat oleh Weber termasuk rasionalisme terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Pada akhirnya, studi tentang sosiologi agama, menurut Weber, semata-mata hanyalah meneliti meneliti satu fase emansipasi dari magi, yakni "pembebasan dunia dari pesona" ("disenchanment of the world") yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang penting dari budaya Barat.
Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme
Esai Weber Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (Die protestantische Ethik und der Geist des Kapitalismus) adalah karyanya yang paling terkenal. Dikatakan bahwa tulisannya ini tidak boleh dipandang sebagai sebuah penelitian mendetail terhadap Protestanisme, melainkan lebih sebagai perkenalan terhadap karya-karya Weber selanjutnya, terutama penelitiannya tentang interaksi antara berbagai gagasan agama dan perilaku ekonomi.
Dalam Etika Protestan dan Semangant Kapitalisme, Weber mengajukan tesis bahwa etika dan pemikiran Puritan mempengaruhi perkembangan kapitalisme. Bakti keagamaan biasanya disertai dengan penolakan terhadap urusan duniawi, termasuk pengejaran ekonomi. Mengapa hal ini tidak terjadi dalam Protestanisme? Weber menjelaskan paradoks tersebut dalam esainya.
Ia mendefinisikan "semangat kapitalisme" sebagai gagasan dan kebiasaan yang mendukung pengejaran yang rasional terhadap keuntungan ekonomi. Weber menunjukkan bahwa semangat seperti itu tidak terbatas pada budaya Barat, apabila dipertimbangkan sebagai sikap individual, tetapi bahwa individu-individu seperti itu -- para wiraswasta yang heroik, begitu Weber menyebut mereka -- tidak dapat dengan sendirinya membangun sebuah tatanan ekonomi yang baru (kapitalisme). Di antara kecenderungan-kecenderungan yang diidentifikasikan oleh Weber adalah keserakahan akan keuntungan dengan upaya yang minimum, gagasan bahwa kerja adalah kutuk dan beban yang harus dihindari, khususnya apabila hal itu melampaui apa yang secukupnya dibutuhkan untuk hidup yang sederhana. "Agar suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik dengan ciri-ciri khusus kapitalisme," demikian Weber menulis, "dapat mendominasi yang lainnya, hidup itu harus dimulai di suatu tempat, dan bukan dalam diri individu yang terisolasi semata, melainkan sebagai suatu cara hidup yang lazim bagi keseluruhan kelompok manusia."
Setelah mendefinisikan semangat kapitalisme, Weber berpendapat bahwa ada banyak alasan untuk mencari asal-usulnya di dalam gagasan-gagasan keagamaan dari Reformasi. Banyak pengamat seperti William Petty, Montesquieu, Henry Thomas Buckle, John Keats, dan lain-lainnya yang telah berkomentar tentang hubungan yang dekat antara Protestanisme dengan perkembangan semangat perdagangan.
Weber menunjukkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung pengejaran rasional akan keuntungan ekonomi dan aktivitas duniawi yang telah diberikan arti rohani dan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan dari ide-ide keagamaan, melainkan lebih merupakan sebuah produk sampingan – logika turunan dari doktrin-doktrin tersebut dan saran yang didasarkan pada pemikiran mereka yang secara langsung dan tidak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan-diri dalam pengejaran keuntungan ekonomi.
Weber menyatakan dia menghentikan riset tentang Protestanisme karena koleganya Ernst Troeltsch, seorang teolog profesional, telah memulai penulisan buku The Social Teachings of the Christian Churches and Sects. Alasan lainnya adalah esai tersebut telah menyediakan perspektif untuk perbandingan yang luas bagi agama dan masyarakat, yang dilanjutkannya kelak dalam karya-karyanya berikutnya.
Frase "etika kerja" yang digunakan dalam komentar modern adalah turunan dari "etika Protestan" yang dibahas oleh Weber. Istilah ini diambil ketika gagasan tentang etika Protestan digeneralisasikan terhadap orang Jepang, orang Yahudi, dan orang-orang non-Kristen.
Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme
Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme adalah karya besar Weber yang kedua dalam sosiologi agama. Weber memusatkan perhatian pada aspek-aspek dari masyarakat Tiongkok yang berbeda dengan masyarakat Eropa Barat dan khususnya dikontraskan dengan Puritanisme. Weber melontarkan pertanyaan, mengapa kapitalisme tidak berkembang di tiongkok. Dalam Seratus Aliran Pemikiran Masa Peperangan Antar-Negara, ia memusatkan pengkajiannya pada tahap awal sejarah Tiongkok. Pada masa itu aliran-aliran pemikiran Tiongkok yang besar (Konfusianisme dan Taoisme) mengemuka.
Pada tahun 200 SM, negara Tiongkok telah berkembang dari suatu federasi yang kendur dari negara-negara feodal menjadi suatu kekaisaran yang bersatu dengan pemerintahan Patrimonial, sebagaimana digambarkan dalam Masa Peperangan Antar-Negara.
Seperti di Eropa, kota-kota di Tiongkok dibangun sebagai benteng atau tempat tinggal para pemimpinnya, dan merupakan pusat perdagangan dan kerajinan. Namun, mereka tidak pernah mendapatkan otonomi politik, dan para warganya tidak mempunyai hak-hak politik khusus. Ini disebabkan oleh kekuatan ikatan-ikatan kekerabatan, yang muncul dari keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Selain itu, gilda-gilda saling bersaing memperebutkan perkenan Kaisar, tidak pernah bersatu untuk memperjuangkan lebih banyak haknya. Karenanya, para warga kota-kota di Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas status terpisah seperti para warga kota Eropa.
Weber membahas pengorganisasian konfederasi awal, sifat-sifat yang unik dari hubungan umat Israel dengan Yahweh, pengaruh agama-agama asing, tipe-tipe ekstasi keagamaan, dan perjuangan para nabi dalam melawan ekstasi dan penyembahan berhala. Ia kemudian menggambarkan masa-masa perpecahan Kerajaan Israel, aspek-aspek sosial dari kenabian di zaman Alkitab, orientasi sosial para nabi, para pemimpin yang sesat dan penganjur perlawanan, ekstasi dan politik, dan etika serta teodisitas (ajaran tentang kebaikan Allah di tengah penderitaan) dari para nabi.
Weber mencatat bahwa Yudaisme tidak hanya melahirkan agama Kristen dan Islam, tetapi juga memainkan peranan penting dalam bangkitnya negara Barat modern, karena pengaruhnya sama pentingnya dengan pengaruh yang diberikan oleh budaya-budaya Helenistik dan Romawi.
Reinhard Bendix, yang meringkas Yudaisme Kuno, menulis bahwa "bebas dari spekulasi magis dan esoterik, diabdikan kepada pengkajian hukum, gigih dalam upaya melakukan apa yang benar di mata Tuhan dalam pengharapan akan masa depan yang lebih baik, para nabi membangun sebuah agama iman yang menempatkan kehidupan sehari-hari manusia di bawah kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh hukum moral yang telah diberikan Tuhan. Dengan cara ini, Yudaisme kuno ikut membentuk rasionalisme moral dari peradaban Barat."
Tokoh Sosiologi - Max Weber
Senin, 29 November 2010
Diposting oleh
_abaot of social_
di
19.20
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Tokoh Sosiologi
BEBERAPA MASALAH SOSIAL PENTING
Minggu, 28 November 2010
1. Kemiskinan
Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.
Factor-faktor yang menyebabkan mereka membenci kemiskinan adalah kesadaran bahwa mereka telah gagal untuk memperoleh lebih dari apa yang telah dimilikinya dan perasaan akan adanya ketidak adilan.
Pada masyarakat moderen yang rumit, kemiskinan menjadi suatu problema social karena sikap yang membenci kemiskinan tadi.
Persoalan menjadi lain bagi mereka yang turut dalam arus urbanisasi tetapi gagal mencari pekerjaan. Bagi mereka pokok persoalan kemiskinan disebabkan tidak mampu memenuhi kebutuhan primer sehingga muncul tunakarya, tuna susila dan lainnya. Secara sosiologis, sebab-sebab timbulnya problema tersebut adalah karena salah satu lembaga kemasyarakatan tidak berfungsi dengan baik, yaitu lembaga kemasyarakatan di bidang ekonomi.
2. Kejahatan
Sosiologi berpendapat bahwa kejahatan disebabkan karena kondisi-kondisi dan proses-proses social yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku social lainnya. Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat denga bentuk-bentuk dan organisasi social dimana kejahatan tersebut terjadi.
Para sosiologi berusaha untuk menentukan proses-proses yang menyebabkan seseorang menjadi penjahat. Analisis ini bersifat social psikologis. Beberapa orang ahli menekankan pada beberapa bentuk proses seperti imitasi, identifikasi, konsep diri pribadi dan kekecewaan yang agresif sebagai proses yang menyebabkan seseoran menjadi penjahat.
Selanjutnya dikatakan bahwa bagian pokok dari pola-pola perilaku jahat tadi dalam kelompok-kelompok kecil yang bersifat intim. Alat-alat komunikasi tertentu seperti buku, surat kabar, film, televise, radio, memberikan pengaruh tertentu yaitu dalam memberikan sugesti kepada orang perorangan untuk menerima atau menolak pola-pola perilaku jahat.
Untuk mengatasi maslah itu, kecuali tindakan preventif, dapat pula diadakan tindakan-tindakan represif antara lain dengan teknik rehabilitasi. Menurut Cressey ada dua factor konsepsi mengenai teknik rehabilitasi tersebut. Yang pertama menciptakan system dan program-program yang bertujuan untuk menghukum orang jahat tersebut. Sistem serta program-program tersebut bersifat reformatif, minsalnya hukuman bersyarat, diusahakan mencari pekerjaan bagi si terhukum dan diberi konsultasi psikologis. Minsalkan kepada narapidana di lembaga permasyarakatan diberikan pendidikan serta latihan untuk menguasai bidang tertentu, supaya kelak setelah masa hukuman selesai punya modal untuk mencari pekerjaan di masyarakat.
Suatu gejala lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah apa yang disebut sebagai white-collar crime, suatu gejalayang timbul pada abad modern ini. Banyak ahli beranggapan, bahwa tipe kejahatan ini merupakan ekses dari proses perkembangan ekonomi yang terlalu cepat. Karena itu pada mulanya gejala ini disebut business crime atau economic criminality. Memang white-collar crime merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha atau para pejabat didalam menjalankan peranan fungsinya. Keadaan keuangannya yang relative kuat mungkin mereka untuk melakukan perbuatan yang oleh hukum dan masyarakat umum dikualifikasikan sebagai kejahatan. Golongan tersebut menganggap dirinya kebal terhadap hukum dan sarana-sarana pengendaliannya dengan kuat. Sukar sekali untuk memidana mereka, sehingga dengan tepat dikatakan bahwa kekuatan penjahat white-collar terletak pada kelemahan korban-korbannya.
Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.
Factor-faktor yang menyebabkan mereka membenci kemiskinan adalah kesadaran bahwa mereka telah gagal untuk memperoleh lebih dari apa yang telah dimilikinya dan perasaan akan adanya ketidak adilan.
Pada masyarakat moderen yang rumit, kemiskinan menjadi suatu problema social karena sikap yang membenci kemiskinan tadi.
Persoalan menjadi lain bagi mereka yang turut dalam arus urbanisasi tetapi gagal mencari pekerjaan. Bagi mereka pokok persoalan kemiskinan disebabkan tidak mampu memenuhi kebutuhan primer sehingga muncul tunakarya, tuna susila dan lainnya. Secara sosiologis, sebab-sebab timbulnya problema tersebut adalah karena salah satu lembaga kemasyarakatan tidak berfungsi dengan baik, yaitu lembaga kemasyarakatan di bidang ekonomi.
2. Kejahatan
Sosiologi berpendapat bahwa kejahatan disebabkan karena kondisi-kondisi dan proses-proses social yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku social lainnya. Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat denga bentuk-bentuk dan organisasi social dimana kejahatan tersebut terjadi.
Para sosiologi berusaha untuk menentukan proses-proses yang menyebabkan seseorang menjadi penjahat. Analisis ini bersifat social psikologis. Beberapa orang ahli menekankan pada beberapa bentuk proses seperti imitasi, identifikasi, konsep diri pribadi dan kekecewaan yang agresif sebagai proses yang menyebabkan seseoran menjadi penjahat.
Selanjutnya dikatakan bahwa bagian pokok dari pola-pola perilaku jahat tadi dalam kelompok-kelompok kecil yang bersifat intim. Alat-alat komunikasi tertentu seperti buku, surat kabar, film, televise, radio, memberikan pengaruh tertentu yaitu dalam memberikan sugesti kepada orang perorangan untuk menerima atau menolak pola-pola perilaku jahat.
Untuk mengatasi maslah itu, kecuali tindakan preventif, dapat pula diadakan tindakan-tindakan represif antara lain dengan teknik rehabilitasi. Menurut Cressey ada dua factor konsepsi mengenai teknik rehabilitasi tersebut. Yang pertama menciptakan system dan program-program yang bertujuan untuk menghukum orang jahat tersebut. Sistem serta program-program tersebut bersifat reformatif, minsalnya hukuman bersyarat, diusahakan mencari pekerjaan bagi si terhukum dan diberi konsultasi psikologis. Minsalkan kepada narapidana di lembaga permasyarakatan diberikan pendidikan serta latihan untuk menguasai bidang tertentu, supaya kelak setelah masa hukuman selesai punya modal untuk mencari pekerjaan di masyarakat.
Suatu gejala lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah apa yang disebut sebagai white-collar crime, suatu gejalayang timbul pada abad modern ini. Banyak ahli beranggapan, bahwa tipe kejahatan ini merupakan ekses dari proses perkembangan ekonomi yang terlalu cepat. Karena itu pada mulanya gejala ini disebut business crime atau economic criminality. Memang white-collar crime merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha atau para pejabat didalam menjalankan peranan fungsinya. Keadaan keuangannya yang relative kuat mungkin mereka untuk melakukan perbuatan yang oleh hukum dan masyarakat umum dikualifikasikan sebagai kejahatan. Golongan tersebut menganggap dirinya kebal terhadap hukum dan sarana-sarana pengendaliannya dengan kuat. Sukar sekali untuk memidana mereka, sehingga dengan tepat dikatakan bahwa kekuatan penjahat white-collar terletak pada kelemahan korban-korbannya.
Diposting oleh
_abaot of social_
di
19.07
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Masalah Sosial
UKURAN-UKURAN SOSIOLOGIS TERHADAP MASALAH SOSIAL
Jumat, 26 November 2010
1. Kriteria utama
Masalah social yaitu, tidak adanya persesuaian antara ukuran-ukuran dan nilai-nilai social dengan kenyataan-kenyataan serta tindakan-tindakan sosial. Unsur-unsur yang pertama dan pokok dari masalah social adalah adanya perbedaan yang mencolok antara nilai-nilai dengan kondisi-kondisi nyata kehidupan. Artinya, adanya kepincangan-kepincangan antara anggapan-anggapan masyarakat tentang apa yang seharusnya terjadi.
Secara sosiologis, agak sulit untuk menentukan secara mutlak sampai sejauh mana kepincangan dalam masyarakat dapat diklasifikasikan sebagai suatu problema social juga.
2. Sumber – sumber Sosial Masalah Sosial
Masalah sosial merupakan persoalan-persoalan yang timbul secara langsung dari atau bersumber langsung kondisi-kondisi maupun proses-proses sosial. Jadi sebab-sebab terpentingnya masalah social haruslah bersifat sosial. Ukurannya tidaklah semata-mata pada perwujudannya yang bersifat sosial, akan tetapi juga pada sumbernya.
Kepincangan yang disebabkan oleh gempa bumi, angin topan, meletusnya api, banjir, epidemi dan segala sesuatunya yang disebabkan oleh alam, bukan merupakan maslah sosial.
Yang pokok disini adalah bahwa akibat dari gejala-gejala tersebut, baik gejala sosial maupun bukan sosial, menyebabkan masalah sosial. Inilah yang menjadi ukuran bagi sosiologi.
3. Pihak-pihak yang Menetapkan apakah suatu kepincangan merupakan masalah social atau tidak.
Ukuran diatas bersifat relative sekali. Mungkin dikatakan bahwa orang banyaklah yang harus menentukannya, atau segolongan orang yang berkuasa saja atau lain-lainnya. Dalam masyarakat merupakan gejala yang wajar jika sekelompok warga masyarakat menjadi pimpinan masyarakat tersebut. Golongan kecil tersebut mempunyai kekuasaan dan wewenang yang lebih besar dari orang lain untuk membuat serta menentukan kebijaksanaan sosial.
Dalam hal ini para sosiologi harus mempunyai hipotesis sendiri untuk kemudian diujikan pada kenyataan-kenyataan yang ada. Sikap masyarakat itu sendirilah yang menentukan apakah suatu gejala merupakan suatu problema social atau tidak.
4. Manifest social problem dan latent social problem
Sosiologi juga merupakan warga karena itu tidak mustahil, kalau penelitian-penelitiannya kadangkala tercemar oleh unsur subyektif lantaran ikatan yang begitu kuat antara dia sebagai warga dengan masyarakat.
Manifest social problem merupakan masalah sosial yang timbul sebagai akibat terjadinya kepincangan-kepincangan dalam masyarakat. Kepincangan mana dikarenakan tidak sesuainya tindakan dengan norma dan nilai yang ada dalam masyarakat. Masyarakat pada umumnya tidak menyukai tindakan-tindakan yang menyimpang.
5. Perhatian masyarakat dan masalah social
Suatu kejadian merupakan masalah social belum tentu mendapat perhatian yang sepenuhnya dari masyarakat. Sebaliknya, suatu kejadian yang mendapat sorotan masyarakat, belum tentu merupakan masalah social.
Hal lain yang perlu pula diketahui adalah bahwa semakin jauh jarak social antara orang-orang yang kemalangan dengan orang yang mengatahui hal itu, semakin kecil pula simpati timbul dan juga semakin kecil perhatian terhadap kejadian tadi.
Suatu problema yang merupakan manifest social problem adalah kepincangan-kepincangan yang menurut keyakinan masyarakat dapat diperbaiki, dibatasi atau bahkan dihilangkan. Lain halnya dengan latent social problem yang sulit diatasi, karena walaupun masyarakat tidak menyukainya, tetapi masyarakat tidak berdaya untuk menghadapinya. Dalam mengatasi problema tersebut, sosiologi seharusnya berpegang pada perbedaan kedua macam problema tersebut yang didasarkan pada system nilai-nilai masyarakat, sosiologi seharusnya mendorong masyarakat untuk memperbaiki kepincangan-kepincangan yang diterimanya sebagai gejala abnormal yang mungkin dihilangkan (atau dibatasi).
Masalah social yaitu, tidak adanya persesuaian antara ukuran-ukuran dan nilai-nilai social dengan kenyataan-kenyataan serta tindakan-tindakan sosial. Unsur-unsur yang pertama dan pokok dari masalah social adalah adanya perbedaan yang mencolok antara nilai-nilai dengan kondisi-kondisi nyata kehidupan. Artinya, adanya kepincangan-kepincangan antara anggapan-anggapan masyarakat tentang apa yang seharusnya terjadi.
Secara sosiologis, agak sulit untuk menentukan secara mutlak sampai sejauh mana kepincangan dalam masyarakat dapat diklasifikasikan sebagai suatu problema social juga.
2. Sumber – sumber Sosial Masalah Sosial
Masalah sosial merupakan persoalan-persoalan yang timbul secara langsung dari atau bersumber langsung kondisi-kondisi maupun proses-proses sosial. Jadi sebab-sebab terpentingnya masalah social haruslah bersifat sosial. Ukurannya tidaklah semata-mata pada perwujudannya yang bersifat sosial, akan tetapi juga pada sumbernya.
Kepincangan yang disebabkan oleh gempa bumi, angin topan, meletusnya api, banjir, epidemi dan segala sesuatunya yang disebabkan oleh alam, bukan merupakan maslah sosial.
Yang pokok disini adalah bahwa akibat dari gejala-gejala tersebut, baik gejala sosial maupun bukan sosial, menyebabkan masalah sosial. Inilah yang menjadi ukuran bagi sosiologi.
3. Pihak-pihak yang Menetapkan apakah suatu kepincangan merupakan masalah social atau tidak.
Ukuran diatas bersifat relative sekali. Mungkin dikatakan bahwa orang banyaklah yang harus menentukannya, atau segolongan orang yang berkuasa saja atau lain-lainnya. Dalam masyarakat merupakan gejala yang wajar jika sekelompok warga masyarakat menjadi pimpinan masyarakat tersebut. Golongan kecil tersebut mempunyai kekuasaan dan wewenang yang lebih besar dari orang lain untuk membuat serta menentukan kebijaksanaan sosial.
Dalam hal ini para sosiologi harus mempunyai hipotesis sendiri untuk kemudian diujikan pada kenyataan-kenyataan yang ada. Sikap masyarakat itu sendirilah yang menentukan apakah suatu gejala merupakan suatu problema social atau tidak.
4. Manifest social problem dan latent social problem
Sosiologi juga merupakan warga karena itu tidak mustahil, kalau penelitian-penelitiannya kadangkala tercemar oleh unsur subyektif lantaran ikatan yang begitu kuat antara dia sebagai warga dengan masyarakat.
Manifest social problem merupakan masalah sosial yang timbul sebagai akibat terjadinya kepincangan-kepincangan dalam masyarakat. Kepincangan mana dikarenakan tidak sesuainya tindakan dengan norma dan nilai yang ada dalam masyarakat. Masyarakat pada umumnya tidak menyukai tindakan-tindakan yang menyimpang.
5. Perhatian masyarakat dan masalah social
Suatu kejadian merupakan masalah social belum tentu mendapat perhatian yang sepenuhnya dari masyarakat. Sebaliknya, suatu kejadian yang mendapat sorotan masyarakat, belum tentu merupakan masalah social.
Hal lain yang perlu pula diketahui adalah bahwa semakin jauh jarak social antara orang-orang yang kemalangan dengan orang yang mengatahui hal itu, semakin kecil pula simpati timbul dan juga semakin kecil perhatian terhadap kejadian tadi.
Suatu problema yang merupakan manifest social problem adalah kepincangan-kepincangan yang menurut keyakinan masyarakat dapat diperbaiki, dibatasi atau bahkan dihilangkan. Lain halnya dengan latent social problem yang sulit diatasi, karena walaupun masyarakat tidak menyukainya, tetapi masyarakat tidak berdaya untuk menghadapinya. Dalam mengatasi problema tersebut, sosiologi seharusnya berpegang pada perbedaan kedua macam problema tersebut yang didasarkan pada system nilai-nilai masyarakat, sosiologi seharusnya mendorong masyarakat untuk memperbaiki kepincangan-kepincangan yang diterimanya sebagai gejala abnormal yang mungkin dihilangkan (atau dibatasi).
Diposting oleh
_abaot of social_
di
19.22
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Ilmu Sosial
Sepuluh Nilai Budaya Transisi Negatif
Transisi perekonomian Indonesia dari ekonomi perencanaan (plan economy) ke ekonomi pasar (market economy) telah menimbulkan nilai-nilai budaya negatif. Nilai-nilai ini dapat bersifat sementara, namun tidak tertutup kemungkinan menjadi permanen.
Saya sebut sementara, karena ia muncul sebagai akibat dari lemahnya kepemimpinan nasional dalam jangka waktu sekitar 10 tahun, atau kepemimpinan yang tidak membangun tata nilai. Nilai-nilai ini bisa berubah menjadi permanen kalau dibiarkan terjadi dalam jangka panjang, dan mendapat insentif dari para pemimpin yang memberi teladan negatif, bahkan bertindak populis.
Keseluruhan nilai-nilai itu ada sepuluh, terdiri dari nilai-nilai budaya jalan pintas, budaya konflik, saling curiga, mencela, foto-foto, pengerahan otot (massa), tidak tahu malu, popularisme, prosedur dan menunda. Berikut adalah penjelasan ringkasannya.
Nilai-Nilai Budaya Jalan Pintas
Jalan pintas adalah perilaku menghindari persaingan dengan mengabaikan rambu-rambu yang harus dilewati demi keamanan bersama. Kesaksian Arifin Panigoro yang diucapkan pada sebuah wawancara televisi bulan November 2008 di Bandung tentang bencana yang terjadi di Sidoarjo (Lumpur Lapindo) mengisyaratkan telah terjadi kecenderungan budaya jalan pintas dalam mengejar keuntungan.
Inilah zaman serba instan. Orang ingin segera menikmati hasil tanpa bekerja keras. Prinsipnya adalah bagaimana agar menjadi cepat kaya, cepat pintar dan cepat terkenal.
Seperti yang sudah saya ulas pada pembahasan tentang illusionary wealth, seminar-seminar sukses yang banyak diminati sejak tahun 2005 adalah seminar yang menjanjikan “Cara Cepat Menjadi Kaya”. Meski orang-orang bijak pernah menyatakan, kalau seorang berpengalaman bertemu dengan orang yang punya uang, maka orang yang berpengalaman akan mendapatkan uang, dan yang punya uang akan mendapatkan pengalaman.
Jalan pintas juga terlihat pada gairah yang terjadi di pasar modal, baik di kalangan para investor yang lebih banyak mengambil sikap spekulatif (short selling), dan juga para emiten yang memanipulasi laporan keuangan daripada long term investor.
Sama halnya dengan tendensi para Caleg yang menggunakan ijazah sarjana palsu, para pelaku usaha yang terlibat dalam bisnis “money game”, dan pelaku-pelaku kriminal yang menginginkan harta majikan, sanak dan keluarga dengan membunuh dan memutilasi korbannya.
Budaya jalan pintas berbeda dengan budaya terobosan. Budaya terobosan dibutuhkan untuk memperbaiki kinerja dari kondisi yang kompleks dan membelenggu dengan membentuk cara-cara baru. Terobosan dilakukan dengan tujuan kepentingan institusi, bukan kepentingan pribadi dengan cara menciptakan jalan baru yang lebih efisien.
Saya sebut sementara, karena ia muncul sebagai akibat dari lemahnya kepemimpinan nasional dalam jangka waktu sekitar 10 tahun, atau kepemimpinan yang tidak membangun tata nilai. Nilai-nilai ini bisa berubah menjadi permanen kalau dibiarkan terjadi dalam jangka panjang, dan mendapat insentif dari para pemimpin yang memberi teladan negatif, bahkan bertindak populis.
Keseluruhan nilai-nilai itu ada sepuluh, terdiri dari nilai-nilai budaya jalan pintas, budaya konflik, saling curiga, mencela, foto-foto, pengerahan otot (massa), tidak tahu malu, popularisme, prosedur dan menunda. Berikut adalah penjelasan ringkasannya.
Nilai-Nilai Budaya Jalan Pintas
Jalan pintas adalah perilaku menghindari persaingan dengan mengabaikan rambu-rambu yang harus dilewati demi keamanan bersama. Kesaksian Arifin Panigoro yang diucapkan pada sebuah wawancara televisi bulan November 2008 di Bandung tentang bencana yang terjadi di Sidoarjo (Lumpur Lapindo) mengisyaratkan telah terjadi kecenderungan budaya jalan pintas dalam mengejar keuntungan.
Inilah zaman serba instan. Orang ingin segera menikmati hasil tanpa bekerja keras. Prinsipnya adalah bagaimana agar menjadi cepat kaya, cepat pintar dan cepat terkenal.
Seperti yang sudah saya ulas pada pembahasan tentang illusionary wealth, seminar-seminar sukses yang banyak diminati sejak tahun 2005 adalah seminar yang menjanjikan “Cara Cepat Menjadi Kaya”. Meski orang-orang bijak pernah menyatakan, kalau seorang berpengalaman bertemu dengan orang yang punya uang, maka orang yang berpengalaman akan mendapatkan uang, dan yang punya uang akan mendapatkan pengalaman.
Jalan pintas juga terlihat pada gairah yang terjadi di pasar modal, baik di kalangan para investor yang lebih banyak mengambil sikap spekulatif (short selling), dan juga para emiten yang memanipulasi laporan keuangan daripada long term investor.
Sama halnya dengan tendensi para Caleg yang menggunakan ijazah sarjana palsu, para pelaku usaha yang terlibat dalam bisnis “money game”, dan pelaku-pelaku kriminal yang menginginkan harta majikan, sanak dan keluarga dengan membunuh dan memutilasi korbannya.
Budaya jalan pintas berbeda dengan budaya terobosan. Budaya terobosan dibutuhkan untuk memperbaiki kinerja dari kondisi yang kompleks dan membelenggu dengan membentuk cara-cara baru. Terobosan dilakukan dengan tujuan kepentingan institusi, bukan kepentingan pribadi dengan cara menciptakan jalan baru yang lebih efisien.
Diposting oleh
_abaot of social_
di
19.11
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Sosial Budaya
Cabang Ilmu Pengetahuan
Rabu, 24 November 2010
ILMU-ILMU SOSIAL
Tiga cabang ilmu Pengetahuan, yaitu :
1. Natural Science meliputi fisika, kimia, astronomi, biologi, dll.
2. Social science terdiri dari sosiologi, ekonomi, politik, antropologi sejarah, geografi, dll.
Humanities meliputi bahasa, agama, kesusastraan,kesenian, dll.
Wujud adanya perkembangan Ilmu social di Indonesia setelah mendapat kemerdekaan adalah :
1.Berdirinya akademik politik di Yogyakarta yang di sponsori oleh tenaga akademis Pembina ilmu politik di Belanda.
2.Didirikan balai perguruan tinggi Gajah Mada.
3.Didirikan akademi kepolisian.
Diposting oleh
_abaot of social_
di
04.22
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
ilmu - ilmu sosial
KONFLIK SOSIAL
Pertentangan dikatakan sebagai konflik manakala pertentangan itu bersifat langsung, yakni ditandai interaksi timbal balik di antara pihakpihak yang bertentangan. Selain itu, pertentangan itu juga dilakukan atas dasar kesadaran pada masing-masing pihak bahwa mereka saling berbeda atau berlawanan (Syaifuddin, dalam Soetopo dan Supriyanto, 2003). Dalam hubungannya dengan pertentangan sebagai konflik, Marck, Synder dan Gurr membuat kriteria yang menandai suatu pertentangan sebagai konflik. Pertama, sebuah konflik harus melibatkan dua atau lebih pihak di dalamnya; Kedua, pihak-pihak tersebut saling tarik-menarik dalam aksi-aksi saling memusuhi (mutualy opposing actions); Ketiga, mereka biasanya cenderung menjalankan perilaku koersif untuk menghadapi dan menghancurkan “sang musuh”. Keempat, interaksi pertentangan di antara pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas, karena itu keberadaan peristiwa pertentangan itu dapat dideteksi dan dimufakati dengan mudah oleh para pengamat yang tidak terlibat dalam pertentangan (Gurr, dalam Soetopo, 2001). Konflik dalam pengertian yang luas dapat dikatakan sebagai segala bentuk hubungan antar manusia yang bersifat berlawanan (antagonistik) (Indrawijaya, 1986). Konflik adalah relasi-relasi psikologis yang antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tak bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan, dan struktur-struktur nilai yang berbeda. Konflik juga merupakan suatu interaksi yang antagonis mencakup tingkah laku lahiriah yang tampak jelas mulai dari bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tak langsung, sampai pada bentuk perlawanan terbuka (Clinton dalam Soetopo dan Supriyanto, 2003). Konflik dapat dikatakan sebagai suatu oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi yang disebabkan oleh adanya berbagai macam perkembangan dan perubahan dalam bidang manajemen, serta menimbulkan perbedaan pendapat, keyakinan dan ide (Mulyasa, 2003). Hocker & Wilmot (1991) memberikan definisi yang cukup luas terhadap konflik sebagai “an expressed struggle betwen at least two interdependent parties who perceive incompatibel goal, scarce rewards, and interference from the other parties in achieving their goals”. Seseorang dikatakan terlibat konflik dengan pihak lain jika sejumlah ketidaksepakatan muncul antara keduanya, dan masing-masing menyadari adanya ketidaksepakatan itu. Jika hanya satu pihak yang merasakan ketidaksetujuan, sedang yang lain tidak, maka belum bisa dikatakan konflik antara dua pihak. Dengan kata lain, dua pihak harus menyadari adanya masalah sebelum mereka berada di dalam konflik. Semua konflik seringkali dipandang sebagai pencapaian tujuan satu pihak dan merupakan kegagalan pencapaian tujuan pihak lain. Hal ini karena seringkali orang memandang tujuannya sendiri secara lebih penting, sehingga meskipun konflik yang ada sebenarnya merupakan konflik yang kecil, seolah-olah tampak sebagai konflik yang besar. Konflik muncul diakibatkan salah satunya perebutan sumberdaya. Misalnya, jika dua orang duduk sebangku dalam kelas, maka bangku itu menjadi sumberdaya. Apabila salah satu pihak bertingkah laku seakanakan mau menguasai kamar, pihak lain akan terganggu maka terjadilah konflik diakibatkan sumberdaya. Pihak-pihak yang berkonflik saling tergantung satu sama lain, karena kepuasan seseorang tergantung perilaku pihak lain. Jika kedua pihak merasa tidak perlu untuk menyelesaikan masalah, maka perpecahan tidak dapat dihindari. Banyak konflik yang tidak terselesaikan karena masing-masing pihak tidak memahami sifat saling ketergantungan. Selama ini konflik sering dihubungkan dengan agresi. Broadman & Horowitz (dalam Kusnarwatiningsih, 2007) menyatakan bahwa konflik dan agresi merupakan dua hal yang berbeda. Konflik tidak selalu menghasilkan kerugian, tetapi juga membawa dampak yang konstruktif bagi pihak-pihak yang terlibat, sedangkan agresi hanya membawa dampak-dampak yang merugikan bagi individu. Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa konflik adalah suatu pertentangan dalam bentuk-bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tak langsung, sampai pada bentuk perlawanan terbuka antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung satu sama lain yang sama-sama merasakan tujuan yang saling tidak cocok
Diposting oleh
_abaot of social_
di
01.49
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Konflik Sosial
Pada masa remaja, terdapat banyak hal baru yang terjadi, dan biasanya lebih bersifat menggairahkan, karena hal baru yang mereka alami merupakan tanda-tanda menuju kedewasaan. Dari masalah yang timbul akibat pergaulan, keingin tahuan tentang asmara dan seks, hingga masalah-masalah yang bergesekan dengan hukum dan tatanan sosial yang berlaku di sekitar remaja.
Hal-hal yang terakhir ini biasanya terjadi karena banyak faktor, tetapi berdasarkan penelitian, jumlah yang terbesar adalah karena "tingginya" rasa solidaritas antar teman, pengakuan kelompok, atau ajang penunjukkan identitas diri. Masalah akan timbul pada saat remaja salah memilih arah dalam berkelompok.
Banyak ahli psikologi yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh masalah, penuh gejolak, penuh risiko (secara psikologis), over energi, dan lain sebagainya, yang disebabkan oleh aktifnya hormon-hormon tertentu. Tetapi statement yang timbul akibat pernyataan yang stereotype dengan pernyataan diatas, membuat remaja pun merasa bahwa apa yang terjadi, apa yang mereka lakukan adalah suatu hal yang biasa dan wajar.
Minat untuk berkelompok menjadi bagian dari proses tumbuh kembang yang remaja alami. Yang dimaksud di sini bukan sekadar kelompok biasa, melainkan sebuah kelompok yang memiliki kekhasan orientasi, nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku dalam kelompok tersebut. Atau yang biasa disebut geng. Biasanya kelompok semacam ini memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut peer group.
Demi kawan yang menjadi anggota kelompok ini, remaja bisa melakukan dan mengorbankan apa pun, dengan satu tujuan, Solidaritas. Geng, menjadi suatu wadah yang luar biasa apabila bisa mengarah terhadap hal yang positif. Tetapi terkadang solidaritas menjadi hal yang bersifat semu, buta dan destruktif, yang pada akhirnya merusak arti dari solidaritas itu sendiri.
Demi alasan solidaritas, sebuah geng sering kali memberikan tantangan atau tekanan-tekanan kepada anggota kelompoknya (peer pressure) yang terkadang berlawanan dengan hukum atau tatanan sosial yang ada. Tekanan itu bisa saja berupa paksaan untuk menggunakan narkoba, mencium pacar, melakukan hubungan seks, melakukan penodongan, bolos sekolah, tawuran, merokok, corat-coret tembok, dan masih banyak lagi.
Secara individual, remaja sering merasa tidak nyaman dalam melakukan apa yang dituntutkan pada dirinya. Namun, karena besarnya tekanan atau besarnya keinginan untuk diakui, ketidak berdayaan untuk meninggalkan kelompok, dan ketidak mampuan untuk mengatakan "tidak", membuat segala tuntutan yang diberikan kelompok secara terpaksa dilakukan. Lama kelamaan prilaku ini menjadi kebiasaan, dan melekat sebagai suatu karakter yang diwujudkan dalam berbagai prilaku negatif.
Kelompok atau teman sebaya memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menentukan arah hidup remaja. Jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang penuh dengan "energi negatif" seperti yang terurai di atas, segala bentuk sikap, perilaku, dan tujuan hidup remaja menjadi negatif. Sebaliknya, jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang selalu menyebarkan "energi positif", yaitu sebuah kelompok yang selalu memberikan motivasi, dukungan, dan peluang untuk mengaktualisasikan diri secara positif kepada semua anggotanya, remaja juga akan memiliki sikap yang positif. Prinsipnya, perilaku kelompok itu bersifat menular.
Motivasi dalam kelompok (peer motivation) adalah salah satu contoh energi yang memiliki kekuatan luar biasa, yang cenderung melatarbelakangi apa pun yang remaja lakukan. Dalam konteks motivasi yang positif, seandainya ini menjadi sebuah budaya dalam geng, barangkali tidak akan ada lagi kata-kata "kenakalan remaja" yang dialamatkan kepada remaja. Lembaga pemasyarakatan juga tidak akan lagi dipenuhi oleh penghuni berusia produktif, dan di negeri tercinta ini akan semakin banyak orang sukses berusia muda. Remaja juga tidak perlu lagi merasakan peer pressure, yang bisa membuat mereka stres.
Secara teori diatas, remaja akan menjadi pribadi yang diinginkan masyarakat. Tetapi tentu saja hal ini tidak dapat hanya dibebankan pada kelompok ataupun geng yang dimiliki remaja. Karena remaja merupakan individu yang bebas dan masing-masing tentu memiliki keunikan karakter bawaan dari keluarga. Banyak faktor yang juga dapat memicu hal buruk terjadi pada remaja.
Seperti yang telah diuraikan diatas, kelompok remaja merupakan sekelompok remaja dengan nilai, keinginan dan nasib yang sama. Contoh, banyak sorotan yang dilakukan publik terhadap kelompok remaja yang merupakan kumpulan anak dari keluarga broken home. Kekerasan yang telah mereka alami sejak masa kecil, trauma mendalam dari perpecahan keluarga, akan kembali menjadi pencetus kenakalan dan kebrutalan remaja.
Tetapi, masa remaja memang merupakan masa dimana seseorang belajar bersosialisasi dengan sebayanya secara lebih mendalam dan dengan itu pula mereka mendapatkan jati diri dari apa yang mereka inginkan.
Hingga, terlepas dari itu semua, remaja merupakan masa yang indah dalam hidup manusia, dan dalam masa yang akan datang, akan menjadikan masa remaja merupakan tempat untuk memacu landasan dalam menggapai kedewasaan.
Diposting oleh
_abaot of social_
di
01.05
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Prilaku Hubungan Sosial
Ilmu Social
Ilmu sosial adalah sekelompok disiplin akademis yang mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya. Ilmu ini berbeda dengan seni dan humaniora karena menekankan penggunaan metode ilmiah dalam mempelajari manusia, termasuk metoda kuantitatif dan kualitatif. Istilah ini juga termasuk menggambarkan penelitian dengan cakupan yang luas dalam berbagai lapangan meliputi perilaku dan interaksi manusia di masa kini dan masa lalu. Berbeda dengan ilmu sosial secara umum, IPS tidak memusatkan diri pada satu topik secara mendalam melainkan memberikan tinjauan yang luas terhadap masyarakat.
Ilmu sosial, dalam mempelajari aspek-aspek masyarakat secara subjektif, inter-subjektif, dan objektif atau struktural, sebelumnya dianggap kurang ilmiah bila dibanding dengan ilmu alam. Namun sekarang, beberapa bagian dari ilmu sosial telah banyak menggunakan metoda kuantitatif. Demikian pula, pendekatan interdisiplin dan lintas-disiplin dalam penelitian sosial terhadap perilaku manusia serta faktor sosial dan lingkungan yang mempengaruhinya telah membuat banyak peneliti ilmu alam tertarik pada beberapa aspek dalam metodologi ilmu sosial.[1] Penggunaan metoda kuantitatif dan kualitatif telah makin banyak diintegrasikan dalam studi tentang tindakan manusia serta implikasi dan konsekuensinya.
Karena sifatnya yang berupa penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial, di Indonesia IPS dijadikan sebagai mata pelajaran untuk siswa sekolah dasar (SD), dan sekolah menengah tingkat pertama (SMP/SLTP). Sedangkan untuk tingkat di atasnya, mulai dari sekolah menengah tingkat atas (SMA) dan perguruan tinggi, ilmu sosial dipelajari berdasarkan cabang-cabang dalam ilmu tersebut khususnya jurusan atau fakultas yang memfokuskan diri dalam mempelajari hal tersebut.
Ilmu sosial, dalam mempelajari aspek-aspek masyarakat secara subjektif, inter-subjektif, dan objektif atau struktural, sebelumnya dianggap kurang ilmiah bila dibanding dengan ilmu alam. Namun sekarang, beberapa bagian dari ilmu sosial telah banyak menggunakan metoda kuantitatif. Demikian pula, pendekatan interdisiplin dan lintas-disiplin dalam penelitian sosial terhadap perilaku manusia serta faktor sosial dan lingkungan yang mempengaruhinya telah membuat banyak peneliti ilmu alam tertarik pada beberapa aspek dalam metodologi ilmu sosial.[1] Penggunaan metoda kuantitatif dan kualitatif telah makin banyak diintegrasikan dalam studi tentang tindakan manusia serta implikasi dan konsekuensinya.
Karena sifatnya yang berupa penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial, di Indonesia IPS dijadikan sebagai mata pelajaran untuk siswa sekolah dasar (SD), dan sekolah menengah tingkat pertama (SMP/SLTP). Sedangkan untuk tingkat di atasnya, mulai dari sekolah menengah tingkat atas (SMA) dan perguruan tinggi, ilmu sosial dipelajari berdasarkan cabang-cabang dalam ilmu tersebut khususnya jurusan atau fakultas yang memfokuskan diri dalam mempelajari hal tersebut.
Diposting oleh
_abaot of social_
di
00.23
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Ilmu Sosial
Langganan:
Postingan (Atom)